Jumat, 14 Desember 2012

MURI Beri Penghargaan Kepada Perpustakaan UIN

UIN Sunan Kalijaga  menerima penghargaan Rekor MURI untuk Perpustakaan UIN Sunan Kalijaga, sebagai perpustakaan pertama di Indonesia yang menggunakan teknologi RFID (Radio Frequency Identivication) dalam peminjaman dan pengembalian buku secara mandiri. Penghargaan Rekor MURI diserahkan oleh wakil dari Direktur Muri (Dr. Jayasuprana) yakni Ari Indriani kepada Rektor UIN Sunan Kalijaga, Prof. Dr. H. Musa Asy’ari.
Dalam pidatonya sebelum menyerahkan, Ari Andriani menyampaikan, UPT Perpustakaan UIN Sunan Kalijaga masuk rekor MURI yang ke 5727. Di Musian MURI ada 4 kategori untuk bisa masuk rekor MURI, yakni, Pertama, Paling, Unik dan Langka. Sementara UPT. Perpustakaan UIN Sunan Kalijaga dikategorikan sebagai yang pertama (pelopor) pengguna teknologi RFID. Penetapan inipun didasarkan atas rekomendasi dari Assosiasi Perguruan Tinggi Islam di Indonesia dan dari PT Fisikom Citra Perkasa, sebagai perusahaan yang mengeluarkan produk teknologi RFID.
Musa Asy’ari berharap, dengan penghargaan ini, bisa lebih memacu UPT Perpustakaan untuk mengembangkan pemanfaatkan perpustakaan UIN Sunan Kalijaga agar dari hari –ke hari selalu mengalami peningkatan pengunjungnya, dengan kenyamanan tempat, kelengkapan koleksi buku-buku, kelengkapan dan kemudahan fasilitas dan keprofesionalan dan keramahan pengelolanya. Ke Depan, diharapkan perpustakaan UIN Sunan Kalijaga semakin mendukung kemudahan belajar di kampus putih ini.
Kepala UPT. Perpustakaan UIN Sunan kalijaga, Solikin Arianto dalam laporannya menyampaikan, penggunakan teknologi RFID sudah dimulai sejak tahun 2007. Hingga hari ini perpustakaan UIN Sunan Kalijaga tetap konsistem menggunakan pelayanan teknologi RFID kepada 12.500 anggotanya, dengan jumlah koleksi buku 150.000 eksemplar. Agustus 2007, 5 perangkat teknologi RFID yang dimiliki.  Yang dipergunakan antara lain : 1 unit untuk perangkat pengisian data RFID, 1 unit perangkat peminjaman dan pengembalian buku, 1 unit perangkat pengembalian koleksi buku di luar gedung perpustakaan dan 2 pasang pintu pengmanan RFID.
Dengan teknologi ini, jumlah peminjang selalu mengalami peningkatan sekitar 24% per tahun. Sehingga dirasa perlu melakukan penambahan peralatan RFID. Maka tiap tahun UPT Perpustakaan UIN Sunan Kalijaga melakukan penambahan perangkat RFID, hingga sampai saat ini telah memiliki 9 perangkat. Dengan penganugerahan rekor MURI, pihaknya berharap bisa membangun citra positif dunia perpustakaan dan pustakawan di tanah air, sehingga pemerintah dan masyarakat dapat memberikan perhatian dan apresiasi yang tinggi terhadap keberadaan perpustakaan dan pustakawan. Kata Solikin.
Selesai penganugeran penghargaan rekor MURI, dilanjutkan Seminar Nasional Mengangkat tema “ Akses Perpustakaan dengan Cloud Computing dan Social Networking”, dengan nara sumber : Prof. Zainal A. Hasibuan, Ph.D., (Guru Besar Fakultas Ilmu Komputer UI yang juga menjabat sebagai Dewan Teknologi Informasi dan Kominikasi Nasional), Putu Laxman Pendit dan agung Fatwanto (Dosen Teknuik Informatika UIN Sunan Kalijaga). Dengan Seminar Nasional ini, Solikin Arianto berharap,  berharap kehadiran teknologi informasi dalam dunia perpustakaan, menggugah semangat para pustakawa untuk selalu terlibat dalam proses transformasi informasi menjadi pengetahuan dan kecerdasan sosial. Lebih jauh lagi, kehadiran Teknologi informasi dan komunikasi (TIK) dapat mendukung dan memperkuat peran pustakawan dalam menjunjung tiga pilar kebijakan pendidikan , yakni : perluasan dan pemerataan pendidikan, peningkatan mutu, relevansi dan daya saing, serta penguatan tata  kelola akuntabilitas dan citra publik pendidikan. Dengan demikian, peranan pustakawan melalui TIK dalam dunia pendidikan dapat menghantarkan institusi pendidikan menjadi semakin bermutu, akuntabe;l, murah, merata, dan terjangkau oleh banyak rakyat.
Berkenaan dengan berkembangnya teknologi cloud computing (komputasi awan) dan sosial networking, yang sampai saat ini masih menimbulkan pro dan kontra, positif atau negatif pemanfaatannya, seminar nasional ini bisa menjadi forum diskusi akademik yang obyektif tentang peluang dan tantangan pengembangan TI di Perpustakaan, harap Solikin arianto.

Kamis, 13 Desember 2012

Keadilan dan Penegakan Hukum

Keadilan dan Penegakan Hukum Menurut Perspektif al-Qur’an Dorongan Berlaku Adil Dalam Hukum Keadilan merupakan sebuah azas yang paling utama di dalam bidang hukum.[10] Sehingga Allah menuntut kepada para penegak hukum untuk senantiasa menghukum secara adil, sebagaimana pada firman-Nya berikut: إِنَّ اللَّهَ يَأْمُرُكُمْ أَنْ تُؤَدُّوا الْأَمَانَاتِ إِلَى أَهْلِهَا وَإِذَا حَكَمْتُمْ بَيْنَ النَّاسِ أَنْ تَحْكُمُوا بِالْعَدْلِ إِنَّ اللَّهَ نِعِمَّا يَعِظُكُمْ بِهِ إِنَّ اللَّهَ كَانَ سَمِيعًا بَصِيرًا Artinya: Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanat kepada yang berhak menerimanya, dan (menyuruh kamu) apabila menetapkan hukum di antara manusia supaya kamu menetapkan dengan adil. Sesungguhnya Allah memberi pengajaran yang sebaik-baiknya kepadamu. Sesungguhnya Allah adalah Maha Mendengar lagi Maha Melihat. (QS. al-Nisa’: 58) Melalui ayat tersebut Allah menyuruh kepada manusia untuk melaksanakan amanah-amanah yang telah diberikan kepada mereka. Amanah yang berhubungan dengan sesama manusia, ataupun amanah terhadap Allah, serta menyeru kepada penegak hukum untuk berlaku adil di dalam menghukum. Dari kedua perintah di atas, yaitu antara perintah menunaikan amanah dan perintah berlaku adil di dalam menghukum, terdapat perbedaan pengertian. Perintah untuk menunaikan amanah bersifat umum, sedangkan perintah berlaku adil di dalam hukum menggunakan lafaz syartiyah “وَإِذَا حَكَمْتُمْ بَيْنَ النَّاسِ”. Ini mengisyaratkan bahwa seluruh manusia memikul amanah bagi masing-masing individunya, sedangkan menetapkan hukum bukanlah wewenang setiap individu, melainkan tanggung jawab kepada orang-orang tertentu yang telah memenuhi syarat sebagai penegak hukum. [11] Dari kata اهلها dan وَإِذَا حَكَمْتُمْ بَيْنَ النَّاس menunjukkan bahwa objek penunaian amanah dan berlaku adil di dalam hukum, berlaku terhadap siapapun juga orang tersebut, tidak terbatas hanya sesama muslim. Dengan demikian, baik amanah maupun keadilan harus ditunaikan dan ditegakkan tanpa membedakan agama, keturunan atau ras. Ayat al-Qur’an yang menegaskan hal ini cukup banyak. Salah satunya di antaranya adalah teguran Allah terhadap Nabi saw yang hampir saja terpedaya oleh dalih seorang muslim yang munafik yang bermaksud menyalahkan seorang Yahudi. Dalam konteks inilah turun firman Allah al-Nisa’: 105 إِنَّا أَنْزَلْنَا إِلَيْكَ الْكِتَابَ بِالْحَقِّ لِتَحْكُمَ بَيْنَ النَّاسِ بِمَا أَرَاكَ اللَّهُ وَلَا تَكُنْ لِلْخَائِنِينَ خَصِيمًا Artinya: Sesungguhnya Kami telah menurunkan kitab kepadamu dengan membawa kebenaran, supaya kamu mengadili antara manusia dengan apa yang telah Allah wahyukan kepadamu, dan janganlah kamu menjadi penantang (orang yang tidak bersalah), karena (membela) orang-orang yang khianat[ (al-Nisa’: 105) Mayoritas ahli tafsir mengemukakan satu peristiwa yang mereka nilai berhubungan dengan turunnya ayat ini. Kesimpulannya adalah bahwa ada seorang yang bernama Thu’mah ibn ‘Ubairiq yang mencuri perisai milik tetangganya yang bernama Qatadah ibn Nu’man. Perisai itu berada di dalam sebua kantong berisi tepung. Thu’mah menyembunyikan perisai tersebut di rumah seorang Yahudi yang bernama Zaid ibn Sâmin. Rupanya kantong tempat perisai itu bocor. Ketika pemilik perisai tersebut mengetahui kehilangan perisainya, ia bertanya kepada Thu’mah tetapi ia bersumpah bahwa ia tidak mengetahuinya. Melalui teteskan tepung mereka menemukan perisai tersebut di rumah Zaid ibn Sâmin, Yahudi itu. Tentu saja ia menolak tuduhan dan mengatakan bahwa Thu’mahlah yang menitipkan perisai tersebut kepadanya. Beberapa orang Yahudi ikut menjadi saksi kebenaran Zaid ibn Sâmin. Namun keluarga Thu’mah mengadu kepada Nabi saw dan membela Thu’mah. Rasul hampir saja terpengaruh oleh dalih-dalih yang dikemukakan pihak Thu’mah, dan terlintas dipikiran beliau hendak menghukum Zaid ibn Sâmin, sehingga turunlah ayat di atas.[12] Adapun Makna Kata ‘adl di dalam ayat di atas diartikan ‘sama’, yang men¬cakup sikap dan perlakuan hakim pada saat proses pengambilan keputusan. Yakni, me¬nuntut hakim untuk menetapkan pihak-pihak yang bersengketa di dalam posisi yang sama, misalnya tempat duduk, penyebut¬an nama (dengan atau tanpa embel-embel penghormatan), keceriaan wajah, ke¬¬sungguh¬an mendengarkan, memikirkan ucapan mereka, dan sebagainya, yang termasuk di dalam proses pengambilan keputusan. Menurut Al-Baidhâwiy bahwa kata ‘adl bermakna ‘berada di per¬tengahan dan mempersamakan’.Sayyid Quthub menyatakan bahwa dasar persamaan itu adalah sifat ke¬manusiaan yang dimiliki setiap manusia. Ini berimplikasi bahwa manusia mempunyai hak yang sama oleh karena mereka sama-sama manusia. Dengan begitu, keadilan adalah hak setiap manusia dengan sebab sifatnya sebagai manusia dan sifat ini menjadi dasar keadilan di dalam ajaran-ajaran ketuhanan. Keadilan di dalam proses hukum, sesuai dengan sikap Rasul di dalam melaksanakan proses hukum. Ini seperti yang terdapat di dalam hadîts beliau berikut ini: عن على رضي الله عنه قال قال رسول الله صلى الله عليه و سلم : إذا جلس إليك الخصمان فلا تكلم حتى تسمع من الآخر كما سمعت من الأول[14] Dari Ali Radhiya Allâh 'anhu bahwa Rasul Allâh Shala Allâh 'alaihi wa Sallam bersabda: "Apabila ada dua orang yang berselisih duduk menghadapmu (untuk meminta keputusan hukum), maka janganlah engkau berkata (memutuskan) sebelum engkau mendengar (keterangan) yang lain sebagaimana mendengarkan yang pertama. Sehingga dipahami berdasarkan hadîts ini bahwa antara kedua pihak yang berperkara memiliki hak yang sama di dalam proses hukum tersebut. Di dalam ayat lain ditegaskan bahwa perlakuan adil tersebut tidak memandang faktor kedekatan, faktor keluarga maupun harta. Seperti pada ayat berikut: يَاأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا كُونُوا قَوَّامِينَ بِالْقِسْطِ شُهَدَاءَ لِلَّهِ وَلَوْ عَلَى أَنْفُسِكُمْ أَوِ الْوَالِدَيْنِ وَالْأَقْرَبِينَ إِنْ يَكُنْ غَنِيًّا أَوْ فَقِيرًا فَاللَّهُ أَوْلَى بِهِمَا فَلَا تَتَّبِعُوا الْهَوَى أَنْ تَعْدِلُوا وَإِنْ تَلْوُوا أَوْ تُعْرِضُوا فَإِنَّ اللَّهَ كَانَ بِمَا تَعْمَلُونَ خَبِيرًا Artinya: Wahai orang-orang yang beriman, jadilah kamu orang yang benar-benar penegak keadilan, menjadi saksi karena Allah biarpun terhadap dirimu sendiri atau ibu bapak dan kaum kerabatmu. Jika ia kaya ataupun miskin, maka Allah lebih tahu kemaslahatannya. Maka janganlah kamu mengikuti hawa nafsu karena ingin menyimpang dari kebenaran. Dan jika kamu memutar balikkan (kata-kata) atau enggan menjadi saksi, maka sesungguhnya Allah adalah Maha Mengetahui segala apa yang kamu kerjakan. (al-Nisa’: 135) Di dalam ayat ini Allah menuntut orang-orang yang beriman untuk dapat menjadi penegak keadilan. Perintah berlaku adil di dalam bahasa Arab diungkapkan dengan berbagai lafaz diantara اعدلوا, كونوا مقسطين, كونوا قائمين بالقسط dan كُونُوا قَوَّامِينَ بِالْقِسْطِ. Masing-masing kata ini memiliki tingkat ketegasan yang berbeda-beda. Kata اعدلوا berarti “berlaku adillah”, ini biasanya dipakai dalam keadaan normal. Adapun kata yang lebih tegas dari kata اعدلوا adalah كونوا مقسطين yang berarti “jadilah orang-orang yang adil”, dan kata yang lebih tegas lagi adalah كونوا قائمين بالقسط yang berarti “jadilah-pennegak-penegak keadilan”. Adapun ungkapan yang paling tegas adalah seperti di dalam Qs. al-Nisa’; 135 di atas yaitu dengan kata كُونُوا قَوَّامِينَ بِالْقِسْطِ yang berarti “jadilah penegak-penegak keadilan yang sempurna lagi sebenar-benarnya”[15] Bersikap adil tersebut berlaku terhadap diri sendiri, orang tua, keluarga terdekat, yaitu tanpa memandang kedekatan-kedekatan tersebut dan tidak terpengaruh oleh kekayaan masing-masing yang berperkara. Peringatan Allah di dalam ayat ini tidak lain adalah karena pada kenyataannya menunjukkan bahwa faktor keluarga dan harta sangat dapat mempengaruhi keobjektifan seseorang di dalam menghukum. Dengan faktor kedekatan, seorang hakim bisa saja menzalimi pihak lain, dan karena kekayaan seorang hakimpun dapat berlaku aniaya terhadap orang yang miskin. Atau sebaliknya karena merasa kasihan terhadap kondisi orang yang miskin seorang hakim bisa saja tidak lagi berlaku adil. Hal ini sebagaimana yang terjadi pada Nabi, ketika beliau ditemui oleh dua pihak yang berperkara, salah satunya adalah orang kaya, sedangkan yang lain adalah miskin. Sehingga Nabi merasa tersentuh dengan yang miskin, dan beliau meyakini bahwa yang miskin tersebut tidak akan mungkin berbuat zhalim terhadap yang kaya, Sehingga Allah menurunkan ayat ini: إِنْ يَكُنْ غَنِيًّا أَوْ فَقِيرًا فَاللَّهُ أَوْلَى بهما.[16] Di sini Allah menyatakan bahwa pertimbangan-pertimbangan kondisi-kondisi pribadi, di luar perkara tersebut tidak patut untuk menyebabkan seorang hakim menyimpang dari kebenaran. Dan Allah-lah yang lebih tahu akan kemaslahatan, maka seorang hakim tersebut dituntut untuk menegakkan keadilan sebagaimana mestinya. Demikian juga bagi mereka yang mengetahui permasalahan tersebut, mereka dituntut untuk dapat menjadi saksi secara adil, sehingga hukum dapat berlaku secara benar dan tepat. Perintah Allah untuk berlaku adil di dalam hukum terhadap siapapun juga, termasuk non-muslim, juga digambarkan di dalam QS. al-Maidah: 42 berikut: سَمَّاعُونَ لِلْكَذِبِ أَكَّالُونَ لِلسُّحْتِ فَإِنْ جَاءُوكَ فَاحْكُمْ بَيْنَهُمْ أَوْ أَعْرِضْ عَنْهُمْوَإِنْ تُعْرِضْ عَنْهُمْ فَلَنْ يَضُرُّوكَ شَيْئًا وَإِنْ حَكَمْتَ فَاحْكُمْ بَيْنَهُمْ بِالْقِسْطِ إِنَّ اللَّهَ يُحِبُّ الْمُقْسِطِينَ Artinya: Mereka itu adalah orang-orang yang suka mendengar berita bohong, banyak memakan yang haram. Jika mereka (orang Yahudi) datang kepadamu (untuk meminta putusan), maka putuskanlah (perkara itu) diantara mereka, atau berpalinglah dari mereka; jika kamu berpaling dari mereka maka mereka tidak akan memberi mudharat kepadamu sedikitpun. Dan jika kamu memutuskan perkara mereka, maka putuskanlah (perkara itu) diantara mereka dengan adil, sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang adil. (al-Maidah: 42) Ayat ini sebenarnya adalah lanjutan dari ayat ke 41 yang menceritakan sikap-sikap orang Yahudi yang suka mendengarkan kebohongan. Maka di dalam ayat ini Allah mengingatkan kepada Rasul bahwa jika mereka mendatangi Rasul untuk meminta putusan terhadap perkara yang timbul sesama mereka, maka Allah memberi dua pilihan. Pilihan yang pertama yaitu memberi putusan dan yang kedua berpaling dari mereka, dengan tidak memberikan putusan apa-apa. Menurut Quraish Shihab penggunaan kata إِنْ/ jika atau seandainya ketika memberi pilihan kepada Rasul untuk memberi putusan atau tidak, adalah untuk menunjukkan bahwa Rasul tidak antusias untuk memberi putusan, karena Rasul yakin bahwa mereka sebenarnya tidaklah menuntut keadilan , tetapi menuntut sesuatu putusan yang sesuai dengan hawa nafsu mereka. Alternatif yang diberikan oleh ayat ini disebabkan oleh adanya dua hal yang bertentangan. Dari satu sisi, keharusan menegakkan keadilan menuntut Nabi untuk memberikan putusan, tetapi di sisi lain, karena mereka bukanlah menuntut keadilan, maka jika Nabi memutuskan dengan adil, mereka akan menolaknya, dan ini berarti pelecehan terhadap Nabi.[17] Walau bagaimanapun rahasia dari dua buah alternatif yang diberikan Allah terhadap Rasul, -menurut penulis- satu hal yang mesti dilakukan oleh Nabi dan penegak hukum lainnya adalah jika mereka memberi putusan kepada siapapun harus berlaku adil dan tidak zalim. Apalagi dari ayat-ayat yang menuntut untuk penegakan keadilan di atas, beberapa di antaranya ditutup dengan sifat Allah yang menunjukkan bahwa Ia Maha Mengetahui, seperti فَإِنَّ اللَّهَ كَانَ بِمَا تَعْمَلُونَ خَبِيرًا dan إِنَّ اللَّهَ كَانَ سَمِيعًا بَصِيرًا. Lafaz-lafaz ini, selain sebagai kabar gembira bagi mereka yang menghukum dengan adil, juga merupakan ancaman bagi para penegak hukum, ia mengisyaratkan bahwa jika seorang hakim berlaku curang di dalam menghukum, maka Allah melihat, mendengar, bahkan mengetahui dengan sedetil-detilnya akan semua itu. Sebagaimana hadîts Nabi berikut: أن تعبد الله كأنك تراه فإن لم تكن تراه فإنه يراك [18] Artinya: Engkau menyembah Allah, seolah-olah engkau melihat-Nya, maka jika engkau tidak melihatnya, niscaya Ia tetap melihatmu Dan tuntutan untuk berlaku adil di dalam menghukum tidak hanya terhadap Nabi Muhammad Saw, Namun juga terhadap Nabi terdahulu. Salah satunya adalah sebagaimana yang dialami oleh Dawud as, di mana beliau didatangi oleh dua pihak yang berperkara, mereka meminta nabi Dawud untuk memberi putusan yang adil terhadap perkara mereka tersebut. Seperti pada QS. Shad: 22 إِذْ دَخَلُوا عَلَى دَاوُدَ فَفَزِعَ مِنْهُمْ قَالُوا لَا تَخَفْ خَصْمَانِ بَغَى بَعْضُنَا عَلَى بَعْضٍ فَاحْكُمْ بَيْنَنَا بِالْحَقِّ وَلَا تُشْطِطْ وَاهْدِنَا إِلَى سَوَاءِ الصِّرَاطِ Artinya: Ketika mereka masuk (menemui) Daud lalu ia terkejut karena kedatangan) mereka. Mereka berkata: "Janganlah kamu merasa takut; (kami) adalah dua orang yang berperkara yang salah seorang dari kami berbuat zalim kepada yang lain; maka berilah keputusan antara kami dengan adil dan janganlah kamu menyimpang dari kebenaran dan tunjukilah kami ke jalan yang lurus. (Shad: 22) [10] Keadilan sebagai azas pokok di dalam hukum, ini tidak hanya dipandang dari segi proses penegakan hukum. Namun keadilan ini telah dimulai dari prinsip syariat Islam itu sendiri yang menjunjung persamaan, yaitu dengan tidak membedakan jenis kelamin, warna kulit etnik dan keturunan. Prinsip inilah yang membuat manusia tertarik kepada Islam. Lihat Wahbah al-Zuhailiy, Al-Qur’ân al-Karîm Bunyanuhu al-Tasyri’iyyat wa Khashâisuhu al-Hadariyyât, Terj. Muhammad Lukman Hakim, Al-Qur’an Paradigma Hukum dan Peradaban, (Surabaya: Risalah Gusti, 1996), h. 191 [11] M. Quraish Shihab, Tafsir al-Misbah: Pesan, Kesan dan Keserasian al-Qur’an, (Jakarta: Lentera Hati, 2008), Vol. ke-2, h. 481 [12] Lihat ‘Abd al-Rahmân ibn Kamal Jalâl al-Din al-Suyûthi, Al-Dur al-Mantsur fi al-Tafsir bi al-Ma’tsur, (Beirut: Dar al-Fikr, 1993), Juz. ke-2, h. 674 [14] Lihat Abiy ‘abd Allah Ahmad ibn Hanbal al-Syaibâniy, (Selanjutnya ditulis dengan Imam Ahmad), Musnad al-Imâm Ahmad ibn Hanbal, (Kairo: Mu’assasah al-Qurtubiyyah, [t.th]), Juz. I, h. 96. atau Muhammad ibn ‘Isa ibn Tsaurah al-Tirmidziy, Sunan al-Tirmidziy, wa Hua al-Jami’ al-Mukhtashar min al-Sunan ‘an Rasul Allâh Saw wa Ma’rifah al-Shahih wa Ma’lul wa ma ‘alaih al-‘Amal, (Riyad: Dar al-Ihyâ’ al-Turâts al-‘Arabiy, [t.th]), Juz. ke-3, h. 618 [15] Quraish Shihab, Tafsir al-Mishbah, op.cit., Vol. ke-2, h. 616 [16] Al-Marâghiy, op.cit. Juz. ke-5, h. 179 [18] Lihat Muhammad ibn Ismâ’îl ibn Ibrâhîm ibn al-Mughîrah ibn Bardizbah al-Bukhâriy al-Ju’fiy (selanjutnya disebut al-Bukhâriy), al-Jâmi’ al-Shahîh al-Musnad al-Mukhtashar min Hadîts Rasûl Allâh ‘Alaihi wa Sallam, (Beirut : Dar Ibn Katsîr, 1987), Juz. ke-1 h. 27, dan Dâwud Sulaiman ibn ‘Asy’ats al-Sijistaniy, Sunan abiy Dâwud, (Beirut: Dal al-Kutub al-‘Arabiy, [t.th]), Juz. ke-4, h. 359

Sistem Hukum

Nama
:
ANI NURAENI
NIM
:
12340148
Kls/Prod/Fak
:
D / Ilmu Hukum / Syari’ah dan Hukum
Dosen
:
Udiyo Basuki, S.H., M.Hum
Tugas Mata kuliah “Pengantar Ilmu Hukum”

SISTEM HUKUM
1.   SISTEM HUKUM DI DUNIA
A. Pengertian sistem dan sistem hukum
Sistem berasal dari bahasa Yunani ”systema” yang dapat diartikan sebagai keseluruhan yang terdiri dari macam-amacam bagian. Menurut Prof. Subekti, SH sistem adalah suatu susunan atau tataan yang teratur, suatu keseluruh yang tediri atas bagian-bagian yang berkaitan satu sama lain, tersusun menurut suatu rencana atau pola, hasil dari suatu penulisan untuk mencapai suatu tujuan”. Dalam suatu sistem yang baik tidak boleh terdapat suatu pertentangan atau benturan antara bagian-bagian. Selain itu juga tidak boleh terjadi duplikasi atau tumpang tindih diantara bagian-bagian itu. Suatu sistem mengandung beberapa asas yang menjadi pedoman dalam pembentukannya. Dapat dikatakan bahwa suatu sistem tidak terlepas dari asas-asas yang mendukungnya. Untuk itu hukum adalah suatu sistem artinya suatu susunan atau tataan teratur dari aturan-aturan hidup, keseluruhannya terdiri dari bagian-bagian yang berkaitan satu sama lain. Misalnya dalam hukum perdata sebagai sistem hukum positif. Sebagai keseluruhan di dalamnya terdiri dari bagian-bagian yang mengatur tentang hidup manusia sejak lahir sampai meninggal dunia. Dari bagian-bagian itu dapat dilihat kaitan aturannya sejak seseorang dilahirkan, hidup sebagai manusia yang memiliki hak dan kewajiban dan suatu waktu keinginan untuk melanjutkan keturunan dilaksanakan dengan membentuk kelurga.
            Menurut Sudikno Mertukusumo sistem hukum merupakan tatanan atau kesatuan yang utuh yang tediri dari bagian-bagian atau unsur-unsur yang saling berkaitan erat satu sama lain yaitu kaidah atau pernyataan tentang apa yang seharusnya, sehingga sistem hukum merupakan sistem normatif. Dengan kata kata lain sistem hukum adalah suatu kumpulan unsur-unsur yang ada dalam interaksi satu sama lain yang merupakan satu kesatuan yang terorganisasi dan kerjasama ke arah tujuan kesatuan. Dapat disimpulkan Sistem hukum adalah kesatuan utuh dari tatanan-tatanan yang terdiri dari bagian-bagian atau unsur-unsur yang satu sama lain saling berhubungan dan berkaitan secara erat. Hukum yang merupakan sistem tersusun atas sejumlah bagian yang masing-masing juga merupakan sistem yang dinamakan subsistem.
B. Macam-macam sistem hukum dunia       
Pada dasarnya banyak sistem hukum yang dianut oleh berbagai negara-negara didunia, namun dalam sejarah dan perkembangannya ada 4 macam sistem hukum yang sangat mempengaruhi sistem hukum yang diberlakukan di bergagai negara tersebut. Adapun sistem hukum yang dimaksud adalah sebagai berikut :

1. Sistem Hukum Eropa Kontinental
             Berkembang di negara-negara Eropa (istilah lain Civil Law = hukum Romawi). Dikatakan hukum Romawi karena sistem hukum ini berasal dari kodifikasi hukum yang berlaku di kekaisaran Romawi pada masa Pemerintahan Kaisar Yustinianus abad 5 (527-565 M). Kodifikasi hukum itu merupakan kumpulan dari berbagai kaidah hukum yang ada sebelum masa Yustinianus yang disebut Corpus Juris Civilis (hukum yg terkodifikasi). Corpus Juris Civilis dijadikan prinsip dasar dalam perumusan dan kodifikasi hukum di negara-negara Eropa daratan seperti Jerman, Belanda, Prancis, Italia, Amerika Latin, Asia (termasuk Indonesia pada masa penjajahan Belanda). Artinya adalah menurut sistem ini setiap hukum harus dikodifikasikan sebagai daar berlakunya hukum dalam suatu negara.
Ø Prinsip utama atau prinsip dasar :

• Prinsip utama atau prinsip dasar sistem hukum Eropa Kontinental ialah bahwa hukum itu memperoleh kekuasaan mengikat karena berupa peraturan yang berbentuk undang-undang yang tersusun secara sistematis dalam kodifikasi.
• Kepastian hukumlah yang menjadi tujuan hukum. Kepastian hukum dapat terwujud apabila segala tingkah laku manusia dalam pergaulan hidup diatur dengan peraturan tertulis, misalnya UU.
• Dalam sistem hukum ini, terkenal suatu adagium yang berbunyi ”tidak ada hukum selain undang-undang”.
• Dengan kata lain hukum selalu diidentifikasikan dengan undang-undang (hukum adalah undang-undang).
Ø Peran Hakim :Hakim dalam hal ini tidak bebas dalam menciptakan hukum baru, karena hakim hanya berperan menetapkan dan menafsirkan peraturan-peraturan yang ada berdasarkan wewenang yang ada padanya.
Ø Putusan Hakim :Putusan hakim tidak mengikat umum tetapi hanya mengikat para pihak yang berperkara saja (doktrins res ajudicata) sbgmana yurisprudensi sebagai sistem hukum Anglo Saxon (Mazhab / Aliran Freie Rechtsbegung)
Ø Sumber Hukum :
1) Undang-undang dibentuk oleh legislatif (Statutes).
2) Peraturan-peraturan hukum’ (Regulation = administrasi negara= PP, dll), dan
3) Kebiasaan-kebiasaan (custom) yang hidup dan diterima sebagai hukum oleh masyarakat selama tidak bertentangan dengan undang-undang.
Ø Penggolongannya :
Berdasarkan sumber hukum diatas maka sistem hukum Eropa Kontinental penggolongannya ada dua yaitu :
1) Bidang hukum publik dan
2) Bidang hukum privat.

Ad. 1) :
Hukum publik mencakup peraturan-peraturan hukum yang mengatur kekuasaan dan wewenang penguasa/negara serta hubungan-hubungan antara masyarakat dan negara.
Termasuk dalam hukum publik ini ialah :
1) Hukum Tata Negara
2) Hukum Administrasi Negara
3) Hukum Pidana

Ad. 2) :
Hukum privat mencakup peraturan-peraturan hukum yang mengatur tentang hubungan antara individu-individu dalam memenuhi kebutuhan hidup demi hidupnya. Yang termasuk dalam hukum privat adalah :
1) Hukum Sipil, dan
2) Hukum Dagang
Sejalan dengan perkembangan peradaban manusia sekarang, batas-batas yang jelas antara hukum publik dan hukum privat itu semakin sulit ditentukan. Hal itu disebabkan faktor-faktor berikut :
1) Terjadinya sosialisasi di dalam hukum sebagai akibat dari makin banyaknya bidang-bidang kehidupan masyarakat. Hal itu pada dasarnya memperlihatkan adanya unsur ”kepentingan umum/masyarakat” yang perlu dilindungi dan dijamin, misalnya saja bidang hukum perburuhan dan hukum agraria.
2) Makin banyaknya ikut campur negara di dalam bidang kehidupan yang sebelumnya hanya menyangkut hubungan perorangan, misalnya saja bidang perdagangan, bidang perjanjian dan sebagainya.
2. Sistem Hukum Anglo Saxon
            Awalnya berkembang di negara Inggris, dan dikenal dgn istilah Common Law atau Unwriten Law (hukum tidak tertulis). Sistem hukum ini dianut di negara-negara anggota persemakmuran Inggris, Amerika Utara,Kanada, Amerika Serikat.
Sumber Hukum :
1) Putusan–putusan hakim/putusan pengadilan atau yurisprudensi (judicial decisions). Putusan-putusan hakim mewujudkan kepastian hukum, maka melalui putusan-putusan hakim itu prinsip-prinsip dan kaidah-kaidah hukum dibentuk dan mengikat umum.
2) Kebiasaan-kebiasaan dan peraturan hukum tertulis yang berupa undang-undang dan peraturan administrasi negara diakui juga, kerena pada dasarnya terbentuknya kebiasaan dan peraturan tertulis tersebut bersumber dari putusan pengadilan.
Putusan pengadilan, kebiasaan dan peraturan hukum tertulis tersebut tidak tersusun secara sistematis dalam kodifikasi sebagaimana pada sistem hukum Eropa Kontinental.
Peran Hakim :
• Hakim berfungsi tidak hanya sebagai pihak yang bertugas menetapkan dan menafsirkan peraturan-peraturan hukum saja. Hakim juga berperan besar dalam menciptakan kaidah-kaidah hukum yang mengatur tata kehidupan masyarakat.
• Hakim mempunyai wewenang yang luas untuk menafsirkan peraturan-peraturan hukum dan menciptakan prinsip-prinsip hukum baru yang berguna sebagai pegangan bagi hakim –hakim lain dalam memutuskan perkara sejenis.
• Oleh karena itu, hakim terikat pada prinsip hukum dalam putusan pengadilan yang sudah ada dari perkara-perkara sejenis (asas doctrine of precedent).
• Namun, bila dalam putusan pengadilan terdahulu tidak ditemukan prinsip hukum yang dicari, hakim berdasarkan prinsip kebenaran dan akal sehat dapat memutuskan perkara dengan menggunakan metode penafsiran hukum. Sistem hukum Anglo-Amerika sering disebut juga dengan istilah Case Law.
Penggolongannya :
• Dalam perkembangannya, sistem hukum Anglo Amerika itu mengenal pula pembagian ”hukum publik dan hukum privat”.
• Pengertian yang diberikan kepada hukum publik hampir sama dengan pengertian yang diberikan oleh sistem hukum eropa kontinental.
• Sementara bagi hukum privat pengertian yang diberikan oleh sistem hukum Anglo Amerika (Saxon) agak berbeda dengan pengertian yang diberikan oleh sistem Eropa kontinental.
• Dalam sistem hukum Eropa kontonental ”hukum privat lebih dimaksudkan sebagai kaidah-kaidah hukum perdata dan hukum dagang yang dicantumkan dalam kodifikasi kedua hukum itu”.
• Berbeda dengan itu bagi sistem hukum Anglo Amerika pengertian ”hukum privat lebih ditujukan kepada kaidah-kaidah hukum tentang hak milik (law of property), hukum tentang orang (law of persons, hukum perjanjian (law of contract) dan hukum tentang perbuatan melawan hukum (law of tort).
• Seluruhnya tersebar di dalam peraturan-peraturan tertulis, putusan-putusan hakim dan kebiasaan.
2.   Sistem Hukum di Indonesia
1. Sistem Hukum Barat
Merupakan warisan para penjajah kolonial Belanda, yang mempunyai sifat individualistik. Peninggalan produk Belanda sampai saat ini masih banyak yang berlaku, seperti KUHP, KUHPerdata, dsb.
2.   Sistem Hukum Adat
         Berkembang dilingkungan kehidupan sosial di Indonesia, Cina, India, Jepang, dan negara lain. Di Indonesia asal mula istilah hukum adat adalah dari istilah ”Adatrecht” yang dikemukakan oleh Snouck Hugronje.
Sumber Hukum :
• Sistem hukum adat umumnya bersumber dari peraturan-peraturan hukum tidak tertulis yang tumbuh dan berkembang serta dipertahankan berdasarkan kesadaran hukum masyarakatnya.
• Sifat hukum adat adalah tradisional dengan berpangkal pada kehendak nenek moyangnya.
• Hukum adat berubah-ubah karena pengaruh kejadian dan keadaan sosial yang silih berganti.
• Karena sifatnya yang mudah berubah dan mudah menyesuaikan dengan perkembangan situasi sosial, hukum adat elastis sifatnya. Karena sumbernya tidak tertulis, hukum adat tidak kaku dan mudah menyesuaikan diri.

Sistem hukum adat di Indonesia dibagi dalam tiga kelompok, yaitu :
1) Hukum adat mengenai tata negara, yaitu tatanan yang mengatur susunan dan ketertiban dalam persekutuan-persekutuan hukum, serta susunan dan lingkungan kerja alat-alat perlengkapan, jabatan-jabatan, dan penjabatnya.
2) Hukum adat mengenai warga (hukum warga) terdiri dari :
o Hukum pertalian sanak (kekerabatan)
o Hukum tanah
o Hukum perutangan
3) Hukum adat mengenai delik (hukum pidana)
Yang berperan dalam menjalankan sistem hukum adat adalah pemuka adat (pengetua-pengetua adat), karena ia adalah pimpinan yang disegani oleh masyarakat
3. Sistem Hukum Islam
            Sistem hukum Islam berasal dari Arab, kemudian berkembang ke negara-negara lain seperti negara-negara Asia, Afrika, Eropa, Amerika secara individual maupun secara kelompok.
Sumber Hukum :
1) Qur’an, yaitu kitab suci kaum muslimin yang diwahyukan dari Allah kepada Nabi Muhammad SAW melalui Malaikat Jibril.
2) Sunnah Nabi (hadist), yaitu cara hidup dari nabi Muhammad SAW atau cerita tentang Nabi Muhammad SAW.
3) Ijma, yaitu kesepakatan para ulama besar tentang suatu hak dalam cara hidup.
4) Qiyas, yaitu analogi dalam mencari sebanyak mungkin persamaan antara dua kejadian.
Sistem hukum Islam dalam ”Hukum Fikh” terdiri dari dua bidang hukum, yaitu :
1) Hukum rohaniah (ibadat), ialah cara-cara menjalankan upacara tentang kebaktian terhadap Allah (sholat, puasa, zakat, menunaikan ibadah haji), yang pada dasarnya tidak dipelajari di fakultas hukum. Tetapi di UNISI diatur dlm mata kuliah fiqh Ibadah.
2) Hukum duniawi, terdiri dari :
a) Muamalat, yaitu tata tertib hukum dan peraturan mengenai hubungan antara manusia dalam bidang jual-bei, sewa menyewa, perburuhan, hukum tanah, perikatan, hak milik, hak kebendaan dan hubungan ekonomi pada umumnya.
b) Nikah (Munakahah), yaitu perkawinan dalam arti membetuk sebuah keluarga yang tediri dari syarat-syarat dan rukun-rukunnya, hak dan kewajiban, dasar-dasar perkawinan monogami dan akibat-akibat hukum perkawinan.
c) Jinayat, yaitu pidana yang meliputi ancaman hukuman terhadap hukum Allah dan tindak pidana kejahatan.
            Sistem hukum Islam menganut suatu keyakinan dan ajaran islam dengan keimanan lahir batin secara individual.Negara-negara yang menganut sistem hukum Islam dalam bernegara melaksanakan peraturan-peraturan hukumnya sesuai dengan rasa keadilan berdasarkan peraturan perundangan yang bersumber dari Qur’an.
            Dari uraian diatas tampak jelas bahwa di negara-negara penganut asas hukum Islam, agama Islam berpengaruh sangat besar terhadap cara pembentukan negara maupun cara bernegara dan bermasyarakat bagi warga negara dan penguasanya.
Berdasarkan sistem hukum dunia diatas, negara Indonesia termasuk negara yang menganut sistem hukum Eropa kontinental. Hal ini dapat dilihat dari sejarah dan politik hukumnya, sistem sumber-sumber hukumnya maupun dalam sistem penegakan hukumnya. Namun dalam pembentukan peraturan perundangan yang berlaku sistem hukum Indonesia dipengaruhi oleh sistem hukum adat dan juga sistem hukum Islam.
Sistem hukum eropa Kontinental menganut mazhab legisme dan positivisme. Mazhab legisme adalah Mazhab/aliran ini menganggap bahwa semua hukum terdapat dalam UU. Atau berarti hukum identik dengan UU. Hakim dalam melakukan tugasnya terikat pada UU, sehingga pekerjaannya hanya melakukan pelaksanaan UU belaka (wetstoepassing) . Aliran legisme demikian besarnya menganggap kemampuan UU sebagai hukum, termasuk dalam penyelesaian berbagai permasalahan sosial. Aliran ini berkeyakinan bahwa semua persoalan sosial akan segera terselesaikan apabila telah dikeluarkan UU yang mengaturnya. Menurut aliran ini UU adalah obat segala-galanya sekalipun dalam kenyataannya tidak demikian.Mazhab Legisme / Fomalitas.
Sedangkan Mazhab / Aliran Positivisme Hukum (Rechtspositivisme) sering juga disebut dengan aliran legitimisme. Aliran ini sangat mengagungkan hukum tertulis. Menurut aliran ini tidak ada norma hukum diluar hukum positif. Semua persoalan masyarakat diatur dalam hukum tertulis. Sehingga terkesan hakikat dari aliran ini adalah penghargaan yang berlebihan terhadap kekuasaan yang menciptakan hukum tertulis ini sehingga dianggap kekuasaan itu adalah sumber hukum dan kekuasaan adalah hukum.
Aliran ini dianut oleh John Austin (1790 – 1861, Inggris) menyatakan bahwa satu-satunya hukum adalah kekuasaan yang tertinggi dalam suatu negara. Sedangkan sumber-sumber lain hanyalah sebagai sumber yang lebih rendah. Sumber hukum itu adalah pembuatnya langsung yaitu pihak yang berdaulat atau badan perundang-undangan yang tertinggi dan semua hukum dialirkan dari sumber yang sama itu. Hukum yang bersumber dari situ harus ditaati tanpa syarat, sekalipun terang dirasakan tidak adil.
Menurut Austin hukum terlepas dari soal keadilan dan dari soal buruk-baik. Karena itu ilmu hukum tugasnya adalah menganalisis unsur-unsur yang secara nyata ada dalam sistem hukum modern. Ilmu hukum hanya berurusan dengan hukum positif yaitu hukum yang diterima tanpa memperhatikan kebaikan dan keburukannya. Hukum adalah perintah dari kekuasaan politik yang berdaulat dalam suatu negara.
Aliran positivisme hukum ini memperkuat aliran legisme yaitu suatu aliran tidak ada hukum diluar undang-undang. Undang menjadi sumber hukum satu-satunya. Undang-undang dan hukum diidentikkan.
            Namun demikian aliran positivisme bukanlah aliran legisme. Perbedaannya terletak pada bahwa menurut aliran legisme hanya menganggap undang-undang sebagai sumber hukum. Sedangkan aliran positivisme bukan undang-undang saja sumber hukum tetapi juga kebiasaan, adat istiadat yang baik dan pendapat masyarakat. Para ahli positivisme hukum berpendapat bahwa karya-karya ilmiah para hukum tidak hanya mengenai hukum positif (hukum yang berlaku) tetapi boleh berorientasi pada hukum kodrat atau hukum yang lebih tinggi seperti yang dilakukan penganut hukum alam.
Selanjutnya sistem anglo saxon berorientasi pada Mazhab / Aliran Freie Rechtsbegung. Aliran ini berpandangan secara bertolak belakang dengan aliran legisme. Aliran ini beranggapan bahwa di dalam melaksanakan tugasnya seorang hakim bebas untuk melakukan menurut UU atau tidak. Hal ini disebabkan karena pekerjaan hakim adalah melakukan penciptaan hukum. Akibatnya adalah memahami yurisprudensi merupakan hal yang primer di dalam mempelajari hukum, sedangkan UU merupakan hal yang sekunder. Pada aliran ini hakim benar-benar sebagai pencipta hukum (judge made law) karena keputusan yang berdasar keyakinannya merupakan hukum dan keputusannya ini lebih dinamis dan up to date karena senantiasa memperlihatkan keadaan dan perkembangan masyarakat.
Berdasarkan hal diatas nampak antara sistem hukum Eropa Kontinental dengan anglo saxon mempunyai kelebihan dan kelemahan.
            Kelebihan sistem eropa kontinental, sistem hukumnya tertulis dan terkodifikasi Dengan terkodifikasi tersebut tujuannya supaya ketentuan yang berlaku dengan mudah dapat diketahui dan digunakan untuk menyelesaikan setiap terjadi peristiwa hukum (kepastian hukum yang lebih ditonjolkan). Contoh tata hukum pidana yang sudah dikodifikasikan (KUHP), jika terjadi pelanggaran tehadap hukum pidana maka dapat dilihat dalam KUHPidana yang sudah dikodifikasikan tersebut. Sedangkan kelemahannya adalah sistemnya terlalu kaku, tidak bisa mengikuti perkembangan zaman karena hakim harus tunduk terhadap perundang-undang yang sudah berlaku (hukum positif). Padahal untuk mencapai keadilan masyarakat hukum harus dinamis.
Kelebihan sistem hukum Anglo Saxon adalah hakim diberi wewenang untuk melakukan penciptaan hukum melalui yurisprudensi (judge made law). Berdasarkan keyakinan hati nurani dan akal sehatnya keputusannya lebih dinamis dan up to date karena senantiasa memperlihatkan keadaan dan perkembangan masyarakat.
Kelemahannya adalah tidak ada jaminan kepastian hukumnya. Jika hakim diberi kebebasan untuk melakukan penciptaan hukum dikhawatirkan ada unsur subjektifnya. Kecuali hakim tersebut sudah dibekali dengan integritas dan rasa keadilan yang tinggi. Untuk negara-negara berkembang yang tingkat korupsinya tinggi tentunya sistem hukum anglo saxon kurang tepat dianut.

Senin, 10 Desember 2012

Makalah Ilmu Negara : Tujuan dan Fungsi Negara



TUJUAN DAN FUNGSI NEGARA

Makalah ini Disusun Guna Memenuhi Tugas
Mata Kuliah : Ilmu Negara




Dosen Pengampu :
SUBAIDI, S. Ag


Disusun Oleh :
ANI NURAENI
12340148




JURUSAN ILMU HUKUM
FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUNAN KALIJAGA
YOGYAKARTA
2012 / 2013


BAB I
PENDAHULUAN

Teori Fungsionalisme struktural pertama kali dikembangkan dan dipopulerkan oleh Talcott Parsons. Talcott Parsons adalah seorang sosiolog kontemporer dari Amerika yang menggunakan pendekatan fungsional dalam melihat masyarakat, baik yang menyangkut fungsi dan prosesnya. Pendekatannya juga diwarnai dengan adanya keteraturan masyarakat yang ada di Amerika juga dipengaruhi oleh pemikiran Auguste Comte, Emile Durkheim, Vilfredo Pareto dan Max Weber. Kemunculan Teori Fungsionalisme Struktural dipengaruhi oleh adanya asumsi kesamaan antara kehidupan organisme biologis dengan struktur sosial tentang adanya keteraturan dan keseimbangan dalam masyarakat.
Teori fungsional adalah teori yang bertujuan untuk memberikan suatu analisis secara objektif terhadap suatu tindakan yang dibentuk oleh  pola-pola aktivitas yang mempunyai tujuan tertentu. Sedangkan yang dimaksud dengan teori struktural dalah salah satu pendekatan yang berskala mikro. Teori struktural tujuan dan struktur negara terdiri dari jaring-jaring yang abstrak dari berbagai macam hubungan. Adapun fenomena-fenomena kultural merupakan gambaran dari usaha-usaha untuk menjelmakan jaringan-jaringan tersebut.
Teori fungsional struktural mempunyai kemampuan untuk mengatasi perbedaan-perbedaan sehingga tujuan dan fungsi negara tersebut dipandang sebagai suatu sistem yang secara fungsional terintegrasi dalam suatu keseimbangan.

BAB II
PEMBAHASAN

Tujuan negara merupakan pedoman atau sesuatu yang harus dicapai  bagaimana negara dapat tersusun dan dapat diatur dengan baik. Adapun fungsi negara lebih menekan pada konsep untuk mencapai tujuan negara tersebut.  Dimana tujuan dan fungsi negara saling berkesinambungan atau saling keterkaitan antara yang satu dengan yang lainnya, karena fungsi negara itu dibentuk untuk merealisasikan tujuan  dari suatu Negara yang bersangkutan.
Perbandingan teori fungsional dengan teori struktural yaitu, teori fungsional terkesan lebih menekankan pada fungsi-fungsi terbentuknya negara dan mengatur keberlangsungannya semua aspek dari sistem negara. Dimana dijabarkankannya melalui teori fungsional bahwa suatu negara terbentuk, memiliki fungsi serta tujuannya tertentu, dan negara tersebut  tidak akan lenyap atau hilang dengan sendirinya. Karena setiap generasi pasti akan mempertahankan ideologi negaranya.
 Sedangkan di sisi lain terdapat  kelemahan dari teori stuktural yaitu teori tersebut menyatakan bahwa fungsi dan tujuan negara pada saatnya akan lenyap dengan sendirinya, akan tua, apabila syarat-syarat terealisasinya fungsi dan tujuan negara  adanya suatu negara dan hidupnya suatu negara tersebut sudah tidak ada lagi. Adapun contoh tujuan dan fungsi negara diperumpamakan seperti manusia, karena proses kehidupan manusia melewati tahapan-tahapan. Ketika manusia itu lahir, mengalami masa kanak-kanak hingga ia tumbuh dewasa dan akhirnya mengalami masa tuanya, dimana ia akan meninggal dunia.
Struktur dan fungsi dapat memberikan kontribusi untuk  terpeliharanya fungsi dan tujuan, namun hal tersebut juga dapat mengandung konsekuensi negative pada bagian aspek yang lain. Dibadingkan dengan kedua teori tersebut terdapat lain, yaitu teori strukturasi. Dimana teori ini menjelaskan  kelangsungan suatu proses terjadinya hubungan  antara Struktur dan Agensi (Pelaku) serta adanya hubungan ruang dan waktu. Teori ini berbeda dengan teori fungsional dan teori struktural, karena kedua teori tersebut lebih  menunjukan pada aspek-aspek untuk penyingkiran subyek. Sedangkan dalam teori strukturasi  kehadiran  subjek  dalam  strukturalisme masih tetap ada. Yang dimaksudkan dengan subyek yaitu agen yang aktif dan mengetahui banyak hal secara konsisten. Dimana dengan menggunakan teori ini, kita tidak mengesampingkan subyek yang secara aktif ikut berperan serta dalam keberlangsungan fungsi dan tujuan negara.


BAB III
PENUTUP
A.  Kesimpulan
Teori fungsional struktural telah berkembang secara meluas dan merata. Sehingga banyak Negara yang menggunakan teori ini di dalam menjalankan pemerintahannya baik itu mengatur suatu pola interaksi maupun relasi diantara masyarakat. Dalam kesempatan ini dapat diambil kesimpulan bahwa secara singkat dan sederhana teori untuk membongkar fungsi dan tujuan negara  merupakan seperti rantai sosiologi manusia,dimana didalam hubungannya terdapat suatu keterkaitan dan saling berhubungan. Seperti badan manusia apabila salah satu bagian tubuh tersebut ada yang sakit ataupun merasa lemah maka akan berimplikasi pada bagian yang lain.
Demikian yang dapat penulis jelaskan mengenai fungsi dan tujuan negara menurut teori fungsional dan teori struktural yang menjadi pokok bahasan dalam makalah ini. Tentunya masih banyak kekurangan dan kelemahannya, kerena terbatasnya pengetahuan dan kurangnya referensi yang ada hubungannya dengan judul makalah ini.
Penulis kritik dan saran yang membangun kepada penulis demi sempurnanya makalah ini dan dan penulisan makalah di kesempatan – kesempatan berikutnya. Semoga makalah ini berguna bagi penulis pada khususnya juga para pembaca yang pada umumnya.

B.  Saran
Pada teori fungsionalisme struktural yaitu sesuatu yang harus dijunjung tinggi keberadaannya. Dimana fungsionalisme struktural merupakan pendekatan yang saling berkesinambungan yang terintegrasi atas dasar kesepakatan. Meskipun demikian, teori tersebut memiliki sisi kelemahannya yaitu mengesampingkan subyek negara. Maka dari itu mulailah dari sekarang mengaplikasikan tentang teori strukturasi yang tetap menghadirkan subyek negara dalam proses keterkaitannya fungsi dan tujuan negara.




DAFTAR PUSTAKA

*     Arif Purnama, “Teori Fungsional.”
(Di akses 4 November 2012)

*     Muhammad, Charlie.  Anthony Giddens.”

http://charlie-muhammad.blogspot.com/2011_11_01_archive.html

(Di akses tanggal 5 November 2012)


*     I Dewa Gede Atmadja. 2012. ”Ilmu Negara”. Malang: Setara Press

*     Syaiful Bakhri. 2010. “Ilmu Negara”. Yogyakarta: Total Media